MEKANISME PENGANGKATAN DAN PEMBAIATAN KHALIFAH
Oleh: MR Kurnia
Kedaulatan ada di tangan syariah dan kekuasaan ada di tangan rakyat. Itulah di antara landasan pemerintahan Islam, Khilafah. Karenanya, seseorang akan dapat menjadi pemimpin kaum Muslim (Khalifah) jika diberi mandat kekuasaan oleh rakyat sebagai pemilik kekuasaan tersebut. Di sinilah diperlukan adanya akad antara rakyat dan calon khalifah untuk menjadi khalifah atas dasar ridha dan pilihan, tanpa intimidasi dan paksaan. Allah Swt. melalui Rasulullah saw. telah menggariskan bahwa akad tersebut adalah baiat.
Sebagaimana layaknya sebuah akad, dalam baiat perlu ada ijâb (penyerahan) dan qabûl(penerimaan). Rasulullah saw. dan para sahabatnya mencontohkan bahwa ijâb berasal dari rakyat sebagai pemilik kekuasaan. Calon khalifah mengabulkannya. Ijâb-nya berupa penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada Khalifah untuk menerapkan Islam dan penyerahan ketaatan mereka kepadanya. Qabûl-nya berupa penerimaan hal tersebut oleh calon khalifah.
Banyak hadits sahih yang menjelaskan bahwa seseorang sah sebagai khalifah jika diangkat melalui proses baiat. Para sahabat pun melakukan hal yang sama. Tidak pernah seseorang menjadi khalifah tanpa dibaiat. Abu Bakar menjadi khalifah bukan saat hasil musyawarah memutuskan beliau sebagai khalifah, tetapi setelah beliau dibaiat di Saqifah. Umar menjadi khalifah bukan setelah pengumuman Abu Bakar tentang hasil musyawarah kaum Muslim, melainkan setelah beliau dibaiat. Demikian juga dengan Utsman dan Ali. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa baiat merupakan satu-satunya metode baku (tharîqah) pengangkatan khalifah. Sekalipun disetujui mayoritas rakyat atau wakilnya, seseorang belum menjadi khalifah sebelum dibaiat. Begitu juga, kudeta atau sistem putera mahkota bukanlah metode pengangkatan khalifah.
Dua Jenis Baiat
Siapapun yang mengkaji hadis Nabi saw. akan menemukan bahwa baiat terhadap khalifah ada dua jenis: (1) Baiat In‘iqâd, yakni baiat yang menunjukkan legalitas orang yang dibaiat sebagai khalifah, pemilik kekuasaan, berhak ditaati, ditolong, dan diikuti; (2) Baiat ‘Ammah/Baiat Thâ‘ah, yaitu baiat kaum Muslim terhadap khalifah terpilih dengan memberikan ketaatan kepadanya. Baiatthâ‘ah bukanlah untuk mengangkat khalifah, karena khalifah sudah ada.
Kedua baiat ini juga didasarkan pada Ijma Sahabat. Misalnya, Abu Bakar diangkat oleh sebagian Sahabat sebagai representasi dari semua Sahabat, baik kalangan Muhajirin maupun Anshar. Setelah pembaiatan dilakukan di Saqifah, esoknya kaum Muslim dikumpulkan di masjid. Abu Bakar berdiri di Mimbar. Sebelum Abu Bakar berbicara, Umar bin Khathab antara lain berbicara, “Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan urusan kalian kepada pundak orang terbaik di antara kalian. Dia Sahabat yang berdua bersama Rasul di gua. Berdirilah kalian, baiatlah dia."
Para Sahabat pun membaiat Abu Bakar setelah pembaiatan di Saqifah. Pembaiatan wakil Sahabat kepada Abu Bakar di Saqifah merupakan baiatin‘iqâd, sedangkan pembaiatan kaum Muslim kepadanya di masjid merupakan baiat thâ‘ah. Hal serupa terjadi pada khalifah lainnya. Ini merupakan gambaran dan penegasan tentang keridhaan rakyat kepada Khalifah.
Berbeda dengan baiat in‘iqâd yang bersifat pilihan, baiat thâ‘ah wajib atas setiap orang, yang ditunjukkan dengan ketaatan dan ketundukan kepada Khalifah terpilih; taat pada hukum dan perundang-undangan yang ditetapkannya.
Pemilihan Khalifah
Dalam Islam penetapan Khalifah pada saat adanya Kekhilafahan melibatkan tiga unsur. Pertama: Mahkamah Mazhalim, yakni lembaga dalam Kekhalifahan Islam yang salah satu kewenangannya adalah mengevaluasi dan menetapkan perlu tidaknya penggantian Khalifah.Kedua: Majelis Umat, yakni lembaga perwakilan rakyat yang para anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat. Salah satu wewenangnya adalah membatasi jumlah calon khalifah. Ketiga: rakyat sebagai pemilik kekuasaan.
Secara ringkas, prinsip umum pergantian Khalifah dalam Islam dicontohkan dalam praktik para Sahabat yang berbentuk Ijma Sahabat. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Kekuasaan ada di tangan umat.
2. Baiat merupakan hak seluruh kaum Muslim sekaligus merupakan fardhu kifayah. Rakyat harus diberi kesempatan untuk menunaikan hak mereka. Apakah mereka menggunakan haknya itu atau tidak, itu terserah mereka.
3. Syariah tidak menyaratkan jumlah tertentu dalam baiat in‘iqâd. Yang penting berjamaah dan dengan itu kaum Muslim ridha. Keridhaan kaum Muslim itu dapat ditunjukkan oleh diamnya mereka, ketaatan mereka, atau dengan indikasi apapun. Hanya saja, berbagai upaya untuk mengetahui pendapat publik dilakukan seoptimal mungkin.
4. Tidak sempurna pengangkatan kepala negara (Khalifah) kecuali jika dilakukan oleh sekelompok orang yang hasil pengangkatannya itu diridhai oleh mayoritas kaum Muslim.
Adapun langkah-langkahnya adalah:
1. Penetapan kapan Khalifah harus diganti. Islam tidak menetapkan masa jabatan seorang khalifah. Khalifah kehilangan hak Kekhilafahan jika melanggar syarat-syarat utama sebagai seorang khalifah (Muslim, laki-laki, balig, berakal, merdeka, dan adil) atau meninggal dunia. Pelanggaran terhadap syarat-syarat ini diputuskan dalam sidang Mahkamah Mazhalim. Jika Mahkamah Mazhalim memutuskan Khalifah saatnya diganti maka dikeluarkanlah keputusan tersebut dan diumumkan kepada publik.
2. Berdasarkan keputusan tersebut, pada saat Khalifah masih hidup, dilakukanlah penjaringan bakal calon khalifah. Hal ini didasarkan pada Ijma Sahabat. Pada saat Abu Bakar dalam keadaan sakit, kaum Muslim menentukan siapa bakal pengganti beliau. Terpilihlah Umar. Akan tetapi, Umar baru dipandang sebagai khalifah setelah dibaiat oleh kaum Muslim pasca kematian Abu Bakar. Demikian pula halnya saat terpilihnya Utsman bin Affan menggantikan Umar bin al-Khaththab.
Adapun jika Khalifah meninggal tanpa ada tanda-tanda terlebih dulu, dan penjaringan dilakukan setelah meninggal Khalifah, maka ditunjuk seorang amir yang mengurusi urusan masyarakat sebagai amir sementara (amir mu'aqqah) hingga dibaiatnya khalifah pengganti.
Tatacara penjaringan calon khalifah bersifat teknis yang bisa bervariasi. Pada masa Abu Bakar, calon dijaring melalui wakil dari kaum Anshar dan Muhajirin. Lalu saat menentukan penggantinya, khalifah Abu Bakar yang saat itu merasa sakit keras mengumpulkan beberapa Sahabat besar seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Said bin Zaid, dan Usaid bin Hudhair untuk bermusyawarah secara rahasia. Mereka melihat calon khalifah adalah Umar dan Ali. Setelah itu, kedua calon diumumkan kepada seluruh masyarakat. Lalu masyarakat menyetujui Umar sebagai pengganti. Barulah setelah Abu Bakar wafat, para Sahabat membaiat umar. Lain lagi kondisinya pada saat penggantian Umar. Saat beliau sakit parah, beliau meminta beberapa orang yang disebut Rasul sebagai ahli surga (Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Said bin Abi Waqash, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, kecuali Abdullah bin Umar, putranya). Setelah Umar wafat, mereka, selain Abu Thalhah, bermusyawarah. Abdurrahman bin Auf keliling meminta pendapat publik. Jatuhlah pilihan kepada Utsman dan Ali. Di masjid mayoritas masyarakat memilih Utsman. Beliaupun dibaiat sebagai khalifah. Pada saat pengangkatan Ali pasca kematian Utsman, yang ada hanya satu calon. Mayoritas Sahabat dan kaum Muslim membaiat beliau di masjid. Lalu seluruh kaum Muslim lainnya menaatinya.
Jadi, merujuk pada Ijma Sahabat tersebut, pihak yang menetapkan bakal calon dan calon itu bisa perwakilan yang mewakili kaum Muslim (Majelis Umat) atau kaum Muslim secara umum (lewat sekumpulan orang-orang, partai, atau organisasi). Teknis mana yang akan digunakan kelak, bergantung pada hasil ijtihad para ahli ketatanegaraan Islam kelak. Yang jelas, itu hanyalah teknis, yang boleh dipilih sesuai dengan keperluan dan sesuai realitas.
3. Tetapkan siapa di antara mereka yang akan dibaiat menjadi khalifah. Cara yang dicontohkan para Sahabat bermacam-macam, seperti disinggung di atas. Langkah teknis mana yang akan diambil, sama saja. Satu hal yang penting disadari adalah prinsip “berbagai upaya untuk mengetahui pendapat publik harus dilakukan seoptimal mungkin”, misalnya melalui Pemilihan Umum Khalifah untuk mengetahui pilihan umat.
4. Setelah diketahui ada calon khalifah yang mendapatkan suara mayoritas, maka dilakukan baiat terhadapnya oleh wakil kaum Muslim. Wakil kaum Muslim tersebut bisa perwakilan dari tokoh-tokoh masyarakat, perwakilan organisasi, atau Majelis Umat. Pada masa Khulafaur Rasyidin, baiat dilakukan oleh sebagian Sahabat. Ungkapan baiat tidak ditentukan. Yang penting harus mencakup pengamalan al-Quran dan Sunnah Rasulullah oleh Khalifah serta ketaatan dalam keadaan sulit maupun mudah, lapang maupun sempit, dari pihak pemberi baiat. Setelah terjadinya baiat in‘iqâd berarti khalifah baru telah terpilih.
5. Lakukan baiat thâ‘ah. Pada masa Abu Bakar dan Umar, penegasan bagi kaum Muslim untuk menaati Khalifah dilakukan dengan pidato kenegaraan. Lalu, para Sahabat yang tidak sempat melakukan baiat in‘iqâd menunjukkan ketatannya kepada Khalifah terpilih. Saat sekarang, baiat thâ‘ah dapat dilakukan baik lisan maupun tertulis, atau cukup dengan menunjukkan sikap ketaatan, dll.
Tampak, hal di atas masih memiliki alternatif. Pada masa khilafah berdiri kelak, mekanisme teknis perlu ijtihad dan penetapan oleh ahli ketatanegaraan Islam. Di antara langkah teknis yang dapat ditempuh adalah:
1. Mahkamah mazhalim menetapkan kapan penggantian khalifah, baik karena khalifah memang layak diganti sesuai dengan hukum syara atau karena meninggal. Bila karena khalifah meninggal maka Majelis Umat menetapkan seorang Amir Sementara, sebut saja Mu’awin Tafwidl (Pembantu Khalifah) ditetapkan yang ditetapkan untuk itu.
2. Berdasarkan keputusan Mahkamah Mazhalim, Majelis Umat dari kalangan Muslim menjaring bakal calon khalifah. Pencalonan dapat berasal dari partai, ormas, dll. Bisa saja dibentuk tim yang menangani hal ini. Lalu, berdasarkan syarat-syarat khalifah baik syarat mutlak (syurûth in‘iqâd) maupun syarat keutamaan (syurûth afdhaliyah), Majelis Umat membatasi jumlah calon khalifah.
3. Untuk mengetahui kehendak publik, dilakukan Pemilu untuk memilih Khalifah.
4. Setelah Pemilu selesai akan diperoleh calon yang mendapatkan suara terbanyak. Berikutnya:
a. Jika Khalifah yang sedang memimpin uzur atau tidak dapat menjalankan fungsinya, maka secara resmi Mahkamah Mazhalim menghentikan Khalifah tersebut. Keputusan tersebut dikeluarkan paling cepat dua hari sebelum pembaiatan khalifah baru. Waktu tersebut adalah waktu toleransi maksimal bagi tidak adanya khalifah pengganti. Lalu, khalifah terpilih dibaiat.
b. Jika Khalifah sedang sakit keras, calon khalifah tidak dibaiat dulu. Tunggu sampai meninggal. Mahkamah Mazhalim dan atau Khalifah mengumumkan ke publik bahwa orang yang mendapat suara mayoritas itu adalah calon penggantinya. Tinggal membaiat. Jika keadaan sakit kerasnya itu menyebabkan ia tidak dapat menjalankan fungsi Kekhalifahan maka Mahkamah Mazhalim menetapkan kapan kelayakan penggantian Kekhalifahan dengan pembaiatan.
c. Jika Khalifah sudah meninggal dunia, Mahkamah Mazhalim mengeluarkan keputusan penghentian amir sementara. Sesaat sesudah itu, dilakukanlah baiat in‘iqâduntuk khalifah baru.
5. Majelis Umat melakukan baiat in‘iqâd terhadap calon khalifah, yang ditunjukkan dengana danya proses ijâb dan qabûl.
6. Khalifah baru sudah terpilih.
7. Keesokan harinya dilakukan semacam pidato kenegaraan dari khalifah baru untuk mengenalkan bahwa dia adalah khalifah yang wajib ditaati.
8. Berikutnya, Khalifah dapat menerima ucapan baiat thâ‘ah dari masyarakat, baik lisan maupun tulisan. Rakyat yang tidak bisa secara langsung melakukannya, bisa menunjukkannya dalam sikap dan perilaku berupa ketaatan dan ketundukan kepada Khalifah tersebut.
Pengangkatan Khalifah Pertama Kali
Sekarang Kekhalifahan tidak ada. Teknis pengangkatan khalifah pertama kali antara lain dapat dilakukan dengan:
1. Rakyat menuntut penerapan Islam. Hal ini akan berproses. Ketika wakil rakyat dan kepala negara memang berjuang untuk tegaknya Islam dan menyatukan umat dalam Khilafah, maka mereka akan mengubah sistem sekular dengan sistem Khilafah.
2. Jika tuntutan masyarakat tidak diindahkan oleh pemimpinnya, konsekuensinya, umat tidak akan percaya pada sistem pemilihan yang ada, termasuk buhul kekuatan seperti militer pun tidak mempercayainya. Dalam kondisi demikian:
i.Orang-orang yang hendak menghilangkan kezaliman yang ada dengan penerapan kekuasaan Islam mengajukan seseorang yang layak sebagai khalifah. Orang tersebut, tentu, yang dikenal baik di tengah masyarakat.
ii.Dibentuklah ahlul halli wal ‘aqdhi dari mayoritas berbagai kalangan tokoh, pengusaha, militer, dll yang dapat dipandang sebagai represntasi masyarakat. Ahlul halli wal ‘aqdhi tersebut membaiat calon khalifah dengan ridha dan pilihan menjadi khalifah dengan baiat in‘iqâd.
iii.Umumkan Khalifah terpilih kepada publik. Kaum Muslim lainnya di negeri tersebut membaiat Khalifah dengan sikap taat dan tunduk kepadanya (baiat thâ‘ah). Dengan itu, kekuasaan yang ada sebelumnya secara otomatis telah kehilangan legitimasi dan kepercayaan dari rakyatnya.
iv.Terbentuk Kekhilafahan pertama.
Demikianlah detail mekanisme pengangkatan Khalifah, dengan metodenya adalah baiat.
Semua proses di atas tentu hanya mungkin terjadi ketika mayoritas masyarakat memang menghendaki sistem Khilafah dan pengangkatan seorang khalifah, yang akan menerapkan syariah secara total dalam seluruh aspek kehidupan Islam, sekaligus mengemban risalah Islam ke seluruh dunia. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.
Posting Komentar untuk "MEKANISME PENGANGKATAN DAN PEMBAIATAN KHALIFAH"
Posting Komentar