AWAS, PRODUK HARAM BERSERTIFIKAT HALAL


Buletin Kaffah Edisi 394 (25 Dzulqadah 1446 H/23 Mei 2025 M)

Baru-baru ini Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan 9 produk pangan olahan yang terdeteksi mengandung unsur babi (porcine). Ini berdasarkan hasil pengujian laboratorium menggunakan parameter uji DNA dan/atau peptida spesifik porcine. (www.cnbcindonesia.com).
Dari 9 produk yang terdeteksi, 7 produk di antaranya telah bersertifikat halal. BPJPH langsung menjatuhkan sanksi berupa penarikan produk dari peredaran. Adapun 2 batch produk lainnya tidak bersertifikat halal dan terbukti memberikan data tidak akurat saat registrasi. Untuk kasus ini, BPOM telah mengeluarkan peringatan keras dan instruksi penarikan produk dari pasar.
Kapitalisme-Sekuler Abaikan Halal Haram
Beredarnya produk makanan haram karena mengandung babi adalah bagian kecil dari akibat sistem ekonomi kapitalisme sekuler yang selama ini berlaku di negeri mayoritas Muslim ini. Bisnis ala sistem kapitalisme-sekuler tidak mempedulikan halal-haram. Sebabnya, kapitalisme-sekuler merupakan sistem yang memisahkan urusan duniawi (termasuk urusan bisnis) dari nilai-nilai dan hukum agama.
Selain tidak mempertimbangkan nilai-nilai dan hukum-hukum agama, seperti halal dan haram, sistem ekonomi kapitalisme-sekuler juga hanya berorientasi pada keuntungan materi semata (profit motive). Sistem ini pun hanya menjadikan pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kapital sebagai tujuan utama.
Dengan adanya temuan 9 jenis produk makanan yang mengandung babi ini, bukan tidak mungkin masih banyak makanan yang beredar di masyarakat Muslim negeri ini juga mengandung babi. Tentu saja peristiwa ini sangat miris. Pasalnya, sebagai negeri Muslim terbesar di dunia semestinya makanan yang diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakat Muslim telah benar-benar dijamin kehalalannya oleh negara.
Allah SWT telah menegaskan keharaman babi dalam firman-Nya:
قُل لَّآ أَجِدُ فِي مَآ أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطۡعَمُهُۥٓ إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيۡتَةً أَوۡ دَمًا مَّسۡفُوحًا أَوۡ لَحۡمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُۥ رِجۡسٌ أَوۡ فِسۡقًا أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ بِهِۦۚ
Katakanlah, "Aku tidak menemukan dalam wahyu yang telah diwahyukan kepada diriku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan oleh seseorang, kecuali makanan itu adalah bangkai, darah yang mengalir dan daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (TQS al-An’am [6]: 145).
Sebaliknya, Allah SWT memerintahkan agar kaum Muslim mengkonsumsi makanan yang halal dan baik. Demikian sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلاً طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan baik (halâl[an] thayyib[an]) dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 168).
Makanan halal adalah makanan yang berdasarkan hukum Islam boleh dikonsumsi (bukan dari babi, bangkai, darah, tidak mengandung khamr, disembelih dengan nama Allah). Adapun makanan yang baik (thayyib[an]) adalah yang bersih, sehat, tidak membahayakan tubuh dan lingkungan (bisa mencakup gizi, higienis, tidak beracun, tidak najis).
Dampak Buruk Konsumsi Produk Haram
Menghindari makanan haram, bagi individu Muslim, adalah bagian dari perwujudan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Begitu juga dengan masyarakat Muslim yang bertakwa. Mereka adalah masyarakat yang menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Individu dan masyarakat Muslim wajib bersinergi dalam mencegah adanya peredaran produk makanan haram, di antaranya yang mengandung babi.
Ada beberapa dampak buruk akibat mengkonsumsi makanan haram: Pertama, makanan haram akan menjadi penghalang bagi pengabulan doa. Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah itu Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik. Kemudian ada seorang laki-laki yang telah lama melakukan safar. Rambutnya kusut dan berdebu. Sambil menengadahkan tangan ke langit, ia berdoa, ‘Yâ Rabb…Yâ Rabb…’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dia dikenyangkan dengan yang haram. Lalu bagaimana mungkin doanya dikabulkan?" (HR Muslim).
Kedua, makanan haram akan mengakibatkan hati gelap dan keras serta kecenderungan untuk berbuat keburukan dan kemaksiatan. Jika tubuh dibangun dari sumber yang haram maka akhlak dan perilaku pun akan cenderung rusak. Makanan haram bisa mengundang pengaruh setan. Pasalnya, setan suka dengan sesuatu yang kotor dan haram. Karena itu orang yang biasa mengonsumsi yang haram akan lebih mudah terdorong melakukan maksiat.
Allah SWT selalu menegaskan bahwa makanan atau minuman haram dikaitkan dengan perbuatan setan. Hal ini sebagaimana firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٌ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan (QS al-Maidah [5]: 90).
Selain yang mengandung babi, di antara makanan/minuman haram adalah yang mengandung alkohol (khamr). Diketahui bahwa alkohol bekerja langsung pada otak, melemahkan kontrol diri, menurunkan kesadaran, bahkan bisa menyebabkan hilang akal. Dalam Islam akal adalah salah satu hal paling dijaga. Ini karena dari akal muncul kesadaran beragama dan tanggung jawab. Jika hilang akal dan kesadaran pada manusia maka akan timbul berbagai kerusakan sosial.
Ketiga, orang yang mengkonsumsi makanan haram berarti merusak amal ibadahnya dan diancam dengan ancaman siksa neraka. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw.:
وَكُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka azab neraka lebih layak bagi dirinya (HR ath-Thabarani).
Makanan bukan hanya untuk kesehatan tubuh, tetapi juga membentuk karakter. Makanan mempengaruhi spiritualitas dan kesehatan akal serta menentukan keberkahan hidup. Karena itulah Allah memerintahkan kaum Muslim untuk memakan makanan yang halal dan baik, bukan sekadar yang enak atau mengenyangkan semata.
Butuh Solusi Sistemik
Selama negeri ini masih menerapkan sistem ekonomi kapitalisme-sekuler yang mengabaikan hukum halal dan haram, maka kaum Muslim akan terus menghadapi masalah dalam kehidupannya. Di antaranya terkait jaminan halal atas makanan yang dibeli dan dikonsumsi. Fungsi pengawasan tidak akan berjalan efektif jika akar masalahnya tidak pernah dihilangkan. Akar masalah di negeri ini bersifat sistemik. Karena itu solusinya juga harus bersifat sistemik.
Islam sebagai sistem kehidupan yang mengatur semua aspek kehidupan berdasarkan wahyu Allah SWT adalah yang paling layak diterapkan di negeri mayoritas Muslim ini. Sebaliknya, sistem kapitalisme-sekuler yang sangat merugikan dan membahayakan kaum Muslim harus segera dicampakkan.
Dalam sistem Islam, selain ketakwaan individu dan kepekaan masyarakat, seorang penguasa (khalifah) bertanggung jawab penuh atas pemeliharaan urusan umat. Menjamin kehalalan makanan dan minuman adalah bagian dari tanggung jawab negara dalam menjaga agama (hifzh ad-din) dan jiwa (hifzh an-nafs). Rasulullah saw. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (kepala negara) adalah pemelihara dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Di dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), produk makanan yang diimpor ke wilayah Khilafah akan disaring dan diperiksa kehalalannya sebelum masuk pasar. Khilafah tidak akan menjalin kerjasama dagang yang memungkinkan peredaran makanan haram di wilayahnya. Khilafah juga akan menjamin dan memastikan produk halal bagi rakyatnya karena termasuk bagian dari ketaatan Khalifah kepada Allah SWT.
Dalam sejarah Kekhalifahan Islam, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah menolak untuk menerima daging yang berasal dari hewan yang tidak disembelih secara syar’i. Sistem pasar Islam di Madinah dijaga ketat oleh Rasulullah saw. dan dilanjutkan oleh para khalifah untuk menjamin perdagangan yang sesuai syariah.
Dalam sejarah Khilafah Islam (misalnya pada masa Umar bin al-Khaththab ra.), dikenal adanya Qadhi Hisbah yang bertugas mengawasi pasar agar tidak ada penipuan dan kecurangan, termasuk penjualan makanan haram atau kadaluarsa. Qadhi Hisbah ini adalah otoritas independen yang bisa menindak pedagang secara langsung di tempat jika terbukti melanggar syariah.
Dengan demikian hanya sistem pemerintahan Islam yang menjadikan halal dan haram sebagai standar produksi dan konsumsi yang bisa menjamin kehalalan bagi seluruh rakyatnya. Pemerintahan Islam akan menerapkan syariah Islam secara total dalam semua aspek kehidupan rakyatnya untuk mewujudkan kehidupan yang penuh keberkahan dan kemuliaan. Tentu hanya pemerintahan Islam yang mendasarkan sistem kepemimpinan dan kebijakannya di atas ketundukan kepada Allah SWT dan Rasulullah saw.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
---*---
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ. فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ...
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Siapa saja yang menjaga diri dari perkara syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Siapa saja yang terjerumus ke dalam perkara syubhat maka ia telah terjatuh ke dalam perkara yang haram… (HR al-Bukhari dan Muslim). []

Posting Komentar untuk " AWAS, PRODUK HARAM BERSERTIFIKAT HALAL"