CARA ISLAM MENGENTASKAN KEMISKINAN


Buletin Kaffah Edisi 393 (18 Dzulqadah 1446 H/16 Mei 2025 M)

Kemiskinan tetap menjadi tantangan besar di Indonesia. Menurut Bank Dunia (World Bank), lebih dari 60,3% penduduk Indonesia, atau sekitar 171,8 juta jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan internasional dengan standar US$6,85 perkapita perhari (berdasarkan Purchasing Power Parity/PPP 2017). Standar US$6,85 PPP ini digunakan untuk negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income), yang merupakan kategori Indonesia sejak 2023 dengan GNI perkapita US$4.870.
Adapun menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dengan garis kemiskinan nasional perkapita Rp 595.242 perbulan, tingkat kemiskinan di Indonesia pada September 2024 hanya sebesar 8,57%, atau hanya sekitar 24,06 juta jiwa.
Menurut Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, perbedaan perhitungan antara Bank Dunia dan BPS ini wajar karena standar garis kemiskinan yang digunakan oleh masing-masing berbeda (Merdeka.com
, 2 Mei 2025).
Selain problem kemiskinan, Indonesia juga menghadapi problem ketimpangan ekonomi yang cukup parah. Laporan Global Inequality Report 2022 menyebutkan Indonesia sebagai negara keenam dengan ketimpangan kekayaan tertinggi di dunia. Empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih besar dari total kekayaan 100 juta penduduk termiskin. Data Oxfam (2023) menyebutkan: Dalam 20 tahun terakhir, kesenjangan antara yang terkaya dan termiskin di Indonesia tumbuh lebih cepat dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.
Jelas, ini menunjukkan bahwa kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di Indonesia bersifat struktural. Penyebab utamanya adalah penerapan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme memungkinkan akumulasi kekayaan di tangan segelintir elit, sementara mayoritas rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Kebijakan seperti pencabutan subsidi BBM dan dominasi konglomerasi atas sektor strategis memperburuk kondisi ini.
Di sisi lain, Negara, yang seharusnya melayani rakyat, sering abai dalam menyediakan pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Hal ini menciptakan kesenjangan ekonomi yang sangat parah.
Standar Kemiskinan dalam Islam
Islam tidak hanya memandang kemiskinan dari aspek materi, tetapi juga dari kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (dharûriyyat) dengan cara yang menjaga martabat dan keimanan seseorang. Dalam al-Quran, orang miskin disebut dengan istilah faqir dan miskin. Dalam pandangan para ulama, kedua istilah ini memiliki makna berbeda, namun kadang saling dipertukarkan. Keduanya disebutkan sebagai penerima zakat, sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ...
Sesungguhnya sedekah itu hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin... (TQS at-Taubah [9]: 60).
Menurut Imam Ibn Katsir dalam ayat di atas orang faqir didahulukan karena jauh lebih membutuhkan daripada yang lainnya. Namun, menurut Abu Hanifah, orang miskin kondisinya jauh lebih buruk daripada orang faqir (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-‘Azhîm, 4/165).
Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam Kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (hlm.142-143) secara lebih rinci menjelaskan: Fakir adalah mereka yang tidak memiliki harta atau penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka seperti makan, pakaian dan tempat tinggal. Karena itu siapa saja yang penghasilannya lebih sedikit dari kebutuhan pokoknya, ia tergolong fakir, dan halal bagi dia menerima zakat. Ia boleh diberi zakat sampai kadar yang dapat mengangkat kefakirannya dan mencukupkan kebutuhannya (Zallum, Al-Amwâl, hlm. 142).
Adapun miskin adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki apa-apa, seakan-akan kefakiran telah “memukimkan” mereka (tidak bisa bergerak), namun mereka tidak meminta-minta kepada manusia. Demikian sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَلَكِنْ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ بِهِ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ
Bukanlah orang miskin itu orang yang berkeliling (meminta-minta) kepada manusia, yang diberi sesuap dua suap, sebutir dua butir kurma. Akan tetapi, orang miskin adalah yang tidak memiliki kecukupan, namun tidak diketahui orang sehingga tidak diberi sedekah, dan tidak berdiri untuk meminta-minta kepada manusia (HR Muttafaq ‘alaih).
Dengan demikian, menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, miskin tingkatannya di bawah fakir, sebagaimana dalam firman Allah SWT: …aw miskîn [an] dzâ matrabah (atau orang miskin yang sangat fakir (melekat di tanah) (QS al-Balad [90]: 16). Maksudnya, orang yang bergelimang debu karena tak punya pakaian dan kelaparan. Orang miskin berhak menerima zakat dan boleh diberi sampai kadar yang mengangkat kemiskinannya dan mencukupi kebutuhannya (Zallum, Al-Amwâl, hlm. 143).
Ini menegaskan bahwa kefaqiran dan kemiskinan diukur dari ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup.
Keadilan Sistem Ekonomi Islam
Salah satu prinsip fundamental dalam sistem ekonomi Islam adalah keadilan (al-‘adl). Keadilan dalam Islam bukan hanya bersifat moral, melainkan merupakan pilar dalam setiap aktivitas ekonomi.
Oleh karena itu, untuk menciptakan keadilan ekonomi, mekanisme distribusi kekayaan menjadi pusat perhatian. Islam menolak sistem yang membuat harta beredar hanya di sekelompok orang kaya (QS al-Hasyr [59]:7). Islam menekankan pentingnya sirkulasi kekayaan secara merata dalam masyarakat.
Dalam praktiknya, pemerataan kekayaan di tengah-tengah masyarakat ini membutuhkan peran negara. Dalam Islam, negara bukanlah aktor pasif atau sekadar regulator seperti dalam sistem kapitalisme. Negara bertanggung jawab penuh untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu (pangan, sandang dan papan; juga pendidikan dan kesehatan). Hal ini ditegaskan oleh Al-Maliki dalam kitabnya, Politik Ekonomi Islam (2001). Beliau menyebut bahwa Negara Islam (Khilafah) wajib mengelola sumber daya publik demi kesejahteraan rakyat dan mencegah pemusatan kekayaan di tangan segelintir individu atau korporasi.
Karena itu Al-Maliki (2001) menegaskan bahwa negara tidak hanya bertindak sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator aktif dalam pembangunan sektor-sektor strategis seperti pertanian, perdagangan dan industri. Keterlibatan negara dalam sektor-sektor ini menjadi sangat penting.
Cara Islam Mengentaskan Kemiskinan
Dalam hal mengentaskan kemiskinan, Islam memiliki sejumlah mekanisme. Di antaranya: Pertama, pengaturan kepemilikan yang adil. Islam mengatur kepemilikan harta untuk mencegah penumpukan kekayaan pada segelintir orang. Al-Quran menyatakan:
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ
Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian (TQS al-Hasyr [59]: 7).
Karena itu dalam sistem Islam, SDA (sumber daya alam) seperti minyak, gas, tambang dan mineral adalah milik umum (al-milkiyyah al-‘aammah) yang wajib dikelola hanya oleh negara untuk rakyat. Haram dikuasai oleh individu atau korporasi. Namun, sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini telah memperlihatkan sisi gelapnya melalui praktik eksploitasi ekonomi yang terjadi akibat liberalisasi pasar dan privatisasi sumber daya alam. Dalam sistem kapitalisme, kepemilikan dan pengelolaan aset-aset strategis seperti minyak, gas, air dan hutan diserahkan kepada individu atau korporasi. Akibatnya, yang terjadi adalah akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang, sementara masyarakat luas justru kehilangan akses terhadap hak-hak ekonominya. Ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang menempatkan sumber daya strategis sebagai milik umum. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (2004) dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm menegaskan bahwa negara berkewajiban mengelola dan mendistribusikan hasil dari sumber daya tersebut demi kemaslahatan umat. Prinsip kepemilikan umum ini bertujuan mencegah eksploitasi serta menjamin distribusi kekayaan yang lebih adil dan merata.
Kedua, dalam Islam, mekanisme seperti zakat, infak dan sedekah juga memastikan redistribusi dan pemerataan kekayaan di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga, dalam Islam, setiap lelaki dewasa, terutama yang punya tanggungan keluarga, wajib mencari nafkah. Ini karena al-Quran memerintahkan:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya (TQS ath-Thalaq [65]: 7).
Menurut Imam Ibn Katsir, ayat ini memerintahkan individu untuk memenuhi kewajiban nafkah sesuai dengan kapasitasnya (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-‘Azhîm, 10/45–48).
Rasulullah saw. juga bersabda:
مَنْ طَلَبَ الدُّنْيَا حَلاَلاً اِسْتِعْفَافًا عَنْ مَسْأَلَةٍ، وَسَعْيًا عَلَى أَهْلِهِ، وَتَعَطُفًا عَلَى جَارِهِ، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَوَجْهُهُ كَالْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ
Siapa saja yang mencari dunia (harta) dengan cara yang halal karena menjaga kehormatan diri dari meminta-minta, untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, dan untuk membantu tetangganya, maka ia akan datang pada Hari Kiamat dengan wajah bagaikan bulan purnama (HR al-Baihaqi).
Di sisi lain, agar setiap orang yang wajib bekerja bisa mendapatkan pekerjaan, maka negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi mereka. Negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi warganya melalui kebijakan ekonomi berorientasi sektor riil seperti perdagangan, pertanian dan industri.
Keempat: Jaminan kebutuhan dasar oleh negara. Negara dalam Islam wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat (pangan, sandang dan papan). Negara juga wajib menyelenggarakan pendidikan dan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma bagi warganya. Ini karena pemimpin negara (Imam/Khalifah) dalam Islam bertanggung jawab penuh atas urusan warga negaranya. Rasulullah saw. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR an-Nasa’i).
Semua mekanisme ini hanya mungkin dilakukan jika negara menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Inilah yang seharusnya diwujudkan, khususnya di negeri ini.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
---*---
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
مَا آمَنَ بِي مَنْ بَاتَ شَبْعَانًا وَجَارُهُ جَائِعٌ وَهُوَ يَعْلَمُ بِهِ
Tidak beriman kepadaku orang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya lapar dan ia mengetahui keadaannya. (HR ath-Thabarani). []

Posting Komentar untuk " CARA ISLAM MENGENTASKAN KEMISKINAN"