Menyoal Ketimpangan Tarif Perdagangan Indonesia–AS

 


Menyoal Ketimpangan Tarif Perdagangan Indonesia–AS
Tarif 19% Bukan Diskon. Ini Alarm Bahaya Kedaulatan.

Indonesia “dikasih” tarif 19% oleh Amerika Serikat.

Sekilas terdengar ringan.
Padahal ini bukan hadiah.
Ini cermin ketimpangan, ketergantungan, dan posisi lemah negara berkembang di hadapan kekuatan global.

April 2025, Donald Trump mengaktifkan aturan darurat.
Hampir 60 negara kena tarif baru.

Indonesia:
➡️ dari 2–5%
➡️ melonjak ke 32%
➡️ lalu “diturunkan” ke 19% setelah 90 hari negosiasi

Disebut timbal balik. Tapi benarkah setara?

Bandingkan perlakuannya:
🇬🇧 Inggris: 10%
🇪🇺 Uni Eropa: 15%
🇰🇷 Korea Selatan: 15%

Indonesia & ASEAN lain: 19%, bahkan ada yang 25–40%.
Sekutu dipeluk. Negara berkembang ditekan.

Agar tarif “diturunkan”, Indonesia harus membayar mahal:
• Impor kedelai AS: $4,5 miliar
• Impor energi: $15,4 miliar
• Beli 50 pesawat Boeing: $3,2 miliar

Ironis. Garuda masih rugi, tapi dipaksa belanja.

Masalahnya bukan cuma angka tarif.
Tarif 19% menghantam:
👕 tekstil
👟 alas kaki
🔌 elektronik

Produk kita makin susah masuk pasar AS.
Lapangan kerja terancam. Devisa tergerus.


Yang lebih berbahaya: ketergantungan pangan.
➡️ 81% kedelai Indonesia impor dari AS.

Petani lokal kalah harga.
Produksi dalam negeri mati pelan-pelan.
Kedaulatan pangan makin rapuh.

Ironinya, AS memakai tarif sebagai senjata bertahan dari penurunan pengaruh global.

Tapi tekanan berlebihan justru melahirkan reaksi:
➡️ BRICS menguat
➡️ Jalur perdagangan alternatif
➡️ Dedolarisasi

Senjata ini perlahan makan tuan.

Sementara Indonesia punya PR struktural besar:
• Ketimpangan tinggi
• Kemiskinan belum tuntas
• Utang ±40% PDB
• Manufaktur stagnan di ±19% PDB

Tarif tinggi hanya menambah beban, bukan solusi.

Karena itu, tulisan ini tidak berhenti di kritik.
Ia menawarkan solusi radikal:
➡️ keluar dari sistem kapitalisme global.

Bukan tambal sulam kebijakan. Tapi perubahan sistem.

Islam diposisikan sebagai dasar ekonomi dan kedaulatan.
Fokusnya bukan akumulasi segelintir elit, melainkan distribusi kekayaan yang adil.

Dalam sistem Islam:
• SDA dikelola negara untuk rakyat
• Energi, pendidikan, kesehatan adalah hak publik
• Bebas riba
• Industri mandiri
• Mata uang stabil

Khilafah digambarkan sebagai penyatu negeri Muslim, dengan pasar besar dan kekuatan riil.

Kesimpulannya jelas: Tarif 19% bukan kemenangan.
Ia adalah alarm keras tentang posisi Indonesia hari ini dalam sistem global.

Pertanyaannya sekarang:
Apakah solusi sistemik seperti ini realistis, atau justru satu-satunya jalan keluar?

👇 Tulis pendapatmu.
🔁 Repost kalau setuju.
➕ Follow @portalperadabanislam untuk analisis kritis lain soal ekonomi & kedaulatan.


#EkonomiIslam #IndonesiaAS #IsuStrategis #FYP #ViralIndonesia #PerdaganganInternasional #TarifAS #IslamSebagaiSolusi #SistemIslam

Sumber : https://alwaie.net/

Posting Komentar untuk "Menyoal Ketimpangan Tarif Perdagangan Indonesia–AS"