Darurat Filicide Islam Solusi Terbaik

 


Penulis: A. Asis Aji, Praktisi Pendidikan

Dalam beberapa pekan terakhir, masyarakat Indonesia dibuat miris oleh maraknya kasus filicide, yaitu tindakan orang tua yang membunuh anak kandung mereka sendiri. Fenomena ini bukan hanya sekadar berita kriminal, tetapi juga cerminan krisis sosial, psikologis, dan moral yang mendalam. Kasus-kasus seperti ibu di Kediri yang membunuh dua anaknya (4/9/2024), balita 14 bulan yang dibunuh orang tua angkatnya di Bandung (9/9/2024), hingga ayah di Ternate yang menghabisi nyawa anaknya karena keluar malam (12/9/2024) menunjukkan betapa gentingnya situasi ini. Kita patut bertanya apa yang mendorong orang tua, yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi pelaku kekejaman terhadap darah dagingnya sendiri? Hal ini akan kita kupas akar masalah filicide dengan data terkini dan menawarkan solusi dari perspektif sistem Islam.

Akar Masalah: Mengapa Filicide Terjadi?

Fenomena filicide tidak bisa dilihat secara simplistik. Berdasarkan berbagai laporan, termasuk data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ada beberapa faktor utama yang menjadi pemicu:

Pertama, Krisis Kesehatan Mental

Banyak pelaku filicide mengalami gangguan jiwa, seperti skizofrenia atau depresi berat. Contohnya, kasus ibu di Bekasi yang membunuh anaknya karena "bisikan gaib" menunjukkan kegagalan deteksi dini gangguan mental di masyarakat. Sistem kesehatan mental di Indonesia masih lemah, dengan hanya 50% puskesmas yang memiliki layanan kesehatan jiwa dan kurangnya psikiater (1.053 dokter spesialis jiwa untuk seluruh Indonesia pada 2018). Stigma terhadap gangguan jiwa juga membuat banyak keluarga enggan mencari bantuan, memperburuk situasi. 

Kedua, Emosi Sesaat dan Konflik Keluarga

Banyak kasus filicide dipicu oleh emosi sesaat, seperti rasa kesal karena anak menangis, rewel, atau dianggap "nakal." Misalnya, pasutri di Musi Banyuasin membunuh anak angkat mereka karena dianggap nakal. Data KPAI 2024 mencatat 259 kasus kekerasan terhadap anak oleh ayah kandung dan 173 kasus oleh ibu kandung, menunjukkan bahwa konflik keluarga sering kali berujung pada kekerasan fatal. Anak menjadi pelampiasan kemarahan dan dendam orang tua karena kurangnya komunikasi efektif dalam keluarga sehingga memperparah konfilik.

Ketiga, Tekanan Sosial dan Ekonomi

Tekanan ekonomi, seperti kemiskinan atau pengangguran, sering kali menjadi pemicu. Kasus di Kelapa Gading (2017) menunjukkan seorang ayah membunuh anaknya karena kesal anak menangis, yang diperparah oleh statusnya sebagai pengangguran. Data KemenPPPA 2024 menunjukkan bahwa 53% kasus kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan rumah tangga, sering kali dipicu oleh tekanan finansial. Selain itu, pola asuh yang otoriter atau permisif, serta paparan konten negatif dari media, turut memengaruhi perilaku agresif orang tua.

Keempat, Stigma dan Kurangnya Dukungan Sosial

Banyak orang tua yang mengalami tekanan psikologis tidak mencari bantuan karena takut dihakimi. Minimnya saluran komunikasi seperti hotline kesehatan jiwa juga menjadi kendala. Akibatnya, tekanan batin yang terpendam meledak menjadi tindakan kekerasan yang tragis. KemenPPPA mencatat bahwa rendahnya kesadaran masyarakat akan layanan seperti SAPA 129 memperburuk situasi.

Kasus filicide tidak hanya merenggut nyawa anak-anak, tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi keluarga sebagai pilar utama perlindungan. KemenPPPA melaporkan bahwa pada 2024, terdapat 28.831 kasus kekerasan terhadap anak, dengan 24.999 kasus menimpa anak perempuan dan 6.228 kasus menimpa anak laki-laki, termasuk kekerasan fisik, psikis, dan seksual oleh orang tua. Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 menunjukkan bahwa 50,78% anak usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan sepanjang hidup mereka, dengan kekerasan emosional oleh orang tua sebagai jenis yang paling dominan.

Ketika orang tua menjadi pelaku kekerasan, anak-anak kehilangan rasa aman, dan masyarakat mulai mempertanyakan efektivitas sistem perlindungan anak. Tragedi ini juga memperburuk stigma terhadap kesehatan mental, membuat pengidap gangguan jiwa semakin sulit mencari pertolongan. Proyeksi ke tahun 2025 menunjukkan bahwa tanpa intervensi signifikan, angka ini berpotensi meningkat seiring tekanan ekonomi dan sosial yang belum terselesaikan.

Solusi dalam Bingkai Sistem Islam

Untuk mengatasi fenomena filicide, diperlukan pendekatan holistik yang tidak hanya menangani akibat, tetapi juga akar masalahnya. Dalam perspektif Islam, keluarga adalah institusi suci yang harus dibangun atas dasar kasih sayang (mawadda wa rahmah). Selanjutnya Islam sebagai sebuah system tidak hanya mengatur tentang ibadah semata yaitu hubungan langsung manusia dengan Tuhannya tetapi juga mengatur seluruh aspek kehidupan; hubungan manusia dengan manusia lainnya, ekonomi, politik, hukum, Pendidikan, social budaya dan sebagainnya. Terkait dengan filicide berikut solusi berbasis sistem Islam:

Pertama, Pembinaan Keluarga Berbasis Iman dan Akhlak

Islam menempatkan orang tua sebagai pendidik utama anak, dengan kewajiban berbakti kepada Allah dan menanamkan kasih sayang kepada anak. Al-Qur’an (QS. Al-Isra: 23-24) memerintahkan umat untuk berbuat baik kepada orang tua, dan prinsip ini juga berlaku sebaliknya. Orang tua harus menerapkan pola asuh yang mencerminkan sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim, seperti yang dijelaskan Dr. Eko Hardi Ansyah. Pendidikan agama yang menekankan kasih sayang, kesabaran, dan pengendalian emosi harus diterapkan sejak dini melalui lembaga pendidikan dan majelis taklim.

Kedua, Peningkatan Sistem Kesejahteraan Sosial

Dalam sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan kesejahteraan umat melalui baitulmal (kas negara). Negara harus menyediakan dukungan ekonomi bagi keluarga miskin, seperti bantuan langsung atau pelatihan kerja, untuk mengurangi tekanan finansial yang memicu kekerasan. Selain itu, layanan kesehatan jiwa harus diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan nasional, dengan akses gratis atau terjangkau, sebagaimana prinsip Islam yang menekankan keadilan sosial.

Ketiga, Penguatan Komunikasi Keluarga

Islam mendorong komunikasi yang santun dan penuh kasih sayang dalam keluarga. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya” (HR. Tirmidzi). Orang tua harus dilatih untuk berkomunikasi tanpa kekerasan, menghindari kata-kata merendahkan, dan memberikan ruang bagi anak untuk berekspresi. Program konseling keluarga berbasis masjid dapat menjadi solusi untuk membangun harmoni keluarga.

Keempat, Deteksi Dini dan Penanganan Gangguan Jiwa

Islam mengajarkan pentingnya menjaga kesehatan jiwa dan raga. Negara harus membentuk lembaga khusus untuk deteksi dini gangguan jiwa, seperti yang disoroti oleh Bagus Utomo dari KPSI. Puskesmas dan rumah sakit harus dilengkapi dengan tenaga psikiater dan psikolog klinis, serta hotline 24 jam untuk konsultasi kesehatan jiwa. Dalam Islam, mencari pengobatan adalah bagian dari ikhtiar, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Carilah pengobatan, karena Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan obatnya” (HR. Bukhari).

Kelima, Penegakan Hukum yang Adil

Dalam sistem hukum Islam, pelaku filicide yang terbukti bersalah harus dihukum sesuai qisas (hukuman setimpal) kecuali jika keluarga korban memaafkan. Namun, untuk pelaku dengan gangguan jiwa, Islam memberikan pengecualian dengan menempatkan mereka di bawah perawatan medis, sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP yang selaras dengan prinsip syariat. Hukuman ini harus disertai dengan rehabilitasi untuk mencegah pengulangan.

Keenam, Peran Komunitas dan Dakwah

Masjid dan komunitas keagamaan harus menjadi pusat edukasi tentang pentingnya keluarga harmonis. Khotbah Jumat, kajian rutin, dan program sosial dapat digunakan untuk menyebarkan nilai-nilai kasih sayang, kesabaran, dan tanggung jawab sebagai orang tua. Komunitas juga dapat berperan sebagai “pengawas sosial” untuk mendeteksi tanda-tanda kekerasan dalam rumah tangga dan segera melaporkannya.

Menuju Keluarga yang Harmonis

Fenomena filicide adalah tragedi yang mencerminkan kegagalan sistemik dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Data KemenPPPA dan KPAI 2024 menunjukkan bahwa kekerasan oleh orang tua terhadap anak masih menjadi ancaman serius, dengan potensi peningkatan di tahun 2025 jika tidak ada intervensi yang memadai. Sistem Islam menawarkan solusi holistik melalui penguatan iman, kesejahteraan sosial, komunikasi yang santun, dan penegakan hukum yang adil. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, kita dapat membangun keluarga yang penuh kasih sayang, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Mari bersama-sama menjadikan keluarga sebagai benteng perlindungan, bukan sumber luka, demi masa depan generasi yang lebih baik.

Terpenting adalah negara harus hadir untuk memberikan solusi terbaik terhadap masalah yang dihadapi oleh rakyat. Fenomena filicide merupakan kegagalan negara kapitalis melindungi rakyatnya. Kapitalisme tidak melihat rakyat sebagai tanggunjawab negara. Karena itu harapan rakyat dengan melihat sejara panjang sistem Islam tentu adalah kembali pada Islam. Islam mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya yang menjadi persoalan utama dalam kasus filicide tersebut.

 


Posting Komentar untuk "Darurat Filicide Islam Solusi Terbaik"