Kapitalisme Pemungut Pajak dan Negara Islam Mengelola Sumber Daya Alam
Kapitalisme Pemungut Pajak dan Negara Islam Mengelola Sumber
Daya Alam
Oleh : A. Asis Aji, Aktivis Islam Ideologis
Pengantar
Dalam tatanan kehidupan bernegara, sistem ekonomi memegang
peranan sentral dalam menentukan arah dan bentuk kesejahteraan masyarakat. Dua
sistem yang sering menjadi bahan kajian dan perbandingan adalah sistem
kapitalisme dan sistem ekonomi Islam. Perbedaan keduanya sangat mencolok
terutama dalam hal sumber pendapatan negara dan pengelolaan kekayaan alam.
Negara kapitalis cenderung menjadikan pajak sebagai tulang punggung pendapatan negara. Pajak dikutip dari setiap lapisan masyarakat—baik kaya maupun miskin—dan sering kali menjadi instrumen dominan dalam pembiayaan pembangunan. Di sisi lain, negara Islam memiliki pendekatan yang berbeda. Pajak bukan sumber utama, melainkan opsi terakhir ketika kas negara atau baitulmal dalam keadaan kosong dan darurat seperti paceklik atau bencana besar. Sumber utama keuangan negara Islam justru terletak pada pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan harta zakat, infak, sedekah, serta kharaj dan jizyah yang dikumpulkan sesuai aturan syariat.
Perbedaan mendasar inilah yang menjadi titik awal untuk menelusuri secara lebih dalam bagaimana kapitalisme dan negara Islam mengelola kekayaan dan menerapkan konsep keadilan ekonomi.
Pajak sebagai Pilar Kapitalisme
Dalam sistem kapitalisme, negara beroperasi layaknya
korporasi besar yang membutuhkan aliran dana terus-menerus untuk menjalankan
mesin pemerintahan, infrastruktur, pendidikan, militer, dan sebagainya. Pajak
dalam sistem ini berfungsi sebagai jantung keuangan negara. Masyarakat
diwajibkan membayar pajak atas penghasilan, konsumsi, properti, bahkan warisan.
Pajak bersifat menyeluruh dan berulang, tanpa memperhatikan kondisi ekonomi individu secara mendalam.
Negara bertindak sebagai regulator dan pemungut, sedangkan
pengelolaan SDA diserahkan pada sektor swasta.
Pemerataan sulit dicapai, karena pengusaha besar dan
oligarki kerap mendapatkan insentif dan keringanan pajak, sementara masyarakat
biasa tetap menanggung beban reguler.
SDA menjadi komoditas bisnis, bukan aset publik yang
dikelola demi kesejahteraan bersama.
Contoh nyata bisa dilihat dari pengelolaan tambang, minyak, dan gas di banyak negara kapitalis di mana korporasi swasta menguasai penuh sektor tersebut, sementara negara hanya menikmati sebagian kecil royalti. Imbasnya, terjadi ketimpangan akses dan distribusi kekayaan.
Negara Islam dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Negara Islam memiliki fondasi ekonomi yang diatur melalui
syari’ah, yaitu hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Dalam hal pengelolaan keuangan negara, Islam
tidak mengandalkan pajak sebagai pilar utama, melainkan menekankan pada
kepemilikan umum dan zakat sebagai mekanisme distribusi kekayaan.
Sumber daya alam (SDA) seperti tambang, air, hutan, dan energi merupakan hak milik umat yang harus dikelola negara untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan korporasi swasta. Rasulullah SAW bersabda:
"Manusia bersekutu dalam tiga hal: air, padang rumput,
dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Hadis ini menjadi dasar bahwa SDA tidak boleh dimonopoli oleh individu atau kelompok. Pemerintah bertindak sebagai pengelola amanah, bukan pemilik mutlak.
Pendapatan Negara dalam Islam
Berbeda dari sistem kapitalisme, negara Islam memiliki
berbagai instrumen ekonomi yang tidak bergantung pada pajak wajib rakyat biasa,
di antaranya:
Pertama, Zakat: Kewajiban bagi umat Islam yang mampu, ditujukan untuk delapan golongan mustahik.
Kedua, Kharaj: Pajak atas tanah milik non-Muslim yang ditaklukkan.
Ketiga, Jizyah: Pembayaran dari non-Muslim sebagai kompensasi perlindungan negara.
Keempat, Ghanimah dan Fai’: Harta rampasan perang dan aset milik publik yang tidak dimiliki secara individu.
Kelima, Pengelolaan SDA oleh negara: Semua hasil tambang, minyak, gas, dll. langsung dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat.
Pajak dalam Islam (disebut dharabah) hanya dipungut jika baitulmal kosong dan negara menghadapi krisis besar, seperti paceklik, perang, atau bencana dahsyat. Dalam situasi normal, pemungutan pajak dari rakyat yang miskin tidak dibenarkan.
Keadilan Distribusi dalam Negara Islam
Salah satu tujuan utama ekonomi Islam adalah menciptakan
keadilan distribusi kekayaan, bukan hanya pertumbuhan angka-angka makroekonomi.
Dalam Islam, kemiskinan bukanlah masalah yang harus dibiarkan berjalan bersama
pembangunan. Sistem distribusinya menekankan:
1. Pelibatan negara dalam pemerataan kekayaan
Negara tidak netral, tetapi aktif dalam memastikan tidak
terjadi ketimpangan yang ekstrem. Hak-hak kaum dhuafa dijamin melalui
distribusi zakat dan pengelolaan SDA.
2. Pelarangan penimbunan dan praktik riba
Kapitalisme
memungkinkan akumulasi kekayaan tanpa batas melalui riba dan spekulasi. Islam
melarang riba dan mewajibkan sirkulasi kekayaan agar tidak berputar di tangan
segelintir orang saja (QS. Al-Hasyr: 7).
3. Kepemilikan publik atas aset strategis
Negara berhak atas tambang, air, dan energi, dan hasilnya
wajib digunakan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan publik
lainnya. Ini mencegah eksploitasi SDA oleh oligarki yang hanya memperkaya
individu.
Dalam masa kekhilafahan Islam, seperti di zaman Umar bin Khattab dan Harun al-Rashid, negara mampu membiayai seluruh operasional pemerintah, membangun infrastruktur, dan menjamin kesejahteraan rakyat tanpa pajak yang membebani rakyat miskin. Bahkan, pernah terjadi di masa kekuasaan Umar bin Abdul Aziz, tidak ada lagi orang yang berhak menerima zakat karena kemiskinan telah berhasil diberantas.
Posting Komentar untuk " Kapitalisme Pemungut Pajak dan Negara Islam Mengelola Sumber Daya Alam"
Posting Komentar